Selasa, 10 April 2012

Pekanbaru, 10 April 2012

Pekanbaru, 10 April 2012

                Ketika hari hendak berganti esok, tak sabar rasanya ingin ku tuliskan semua kisahku hari ini dan hari sebelumnya.
                Dua hari yang lalu, tim basket yang di dalamnya ada aku, bertanding untuk memperebutkan tiket final di ajang Pekan Olahraga Mahasiswa kampusku. Saat itu pemain-pemain inti yang biasanya kami andalkan, tak bisa bermain karena sedang di luar kota. Dengan terpaksa, aku menjadi pemain inti untuk hari itu.  Aku bermain dari quarter awal sampai akhirnya diberi penambahan waktu karena skor kami imbang sampai akhir pertandingan.
                Ada banyak peristiwa di pertandingan itu. Mulai dari kejar-kejaran poin, sampai ada pemain yang menangis karena berbenturan.  Pertandingan yang dimulai dingin itu lama kelamaan memanas dan akhirnya dingin kembali. Pemain lawan hanya 5 orang, tak ada pemain cadangan. Sedangkan tim kami diperkuat dengan 2 orang pemain cadangan. Skor terus kejar mengejar, dan kondisi di lapangan pun penuh emosi. Aku tak tau ntah apa yang terjadi sebenarnya di lapangan, aku masih bingung karena itu untuk pertama kalinya aku ada di lapangan dalam kondisi pertandingan yang sesungguhnya. Ketika salah seorang pemain menangis pun aku tak tau ntah apa yang terjadi.
                Hingga quarter ke-4 berakhir, skor tetap bertahan 9 sama. Karena itu, wasit menyatakan waktunya ditambah selama 3 menit. Dan Alhamdulillah, 3 menit itu bisa kami manfaatkan sebaik-baiknya untuk menambah poin. Hingga akhirnya pertandingan berakhir dengan skor 11-9.  Ketika peluit panjang dibunyikan sebagai tanda pertandingan berakhir, kami semua langsung berhamburan, saling berpelukan karena saking kegirangan. Ini semua tidak terlepas dari peran para supporter yang selalu berteriak-teriak dari tepi lapangan.
                Namun dari segala kisah hari itu, ada satu hal yang tak bisa aku lupakan. Tanpa ku sadari, aku mengagumi wasit yang memimpin pertandingan kami hari itu. Ia sangat baik, ramah, dan perfect . Mungkin aku memang terlalu mudah untuk mengagumi, tapi ya begitulah aku. Aku kagum pada pandangan pertama. Ia murah senyum saat memimpin pertandingan. Ia dengan sabar memimpin kami yang sebenarnya tak tau dengan benar peraturan dalam bermain basket. Ketika bola berpindah tangan, dengan senyum ia berkata, “Yuk, bola putih”. Ketika di antara kami ada yang melakukan kesalahan, ia memberi tahu dengan senyum. Suatu ketika saat pertandingan, aku disuruh keluar dari lingkaran shooting, ia berkata “yang putih, keluar”. Ia berkata putih karna saat itu aku memakai baju berwarna putih. Tapi teman-teman ku malah tertawa karena menganggap itu sindiran atas kulitku yang berwarna hitam. Namun aku tetap tertawa, karena itu adalah bentuk hiburan dari sahabat-sahabatku. Satu fakta yang aku ketahui, ternyata wasit itu adalah teman lama dari sahabatku. Senang mengetahui itu, karena aku berpikir bisa kenal dengannya lebih dekat dan berteman dengannya, orang yang ku kagumi itu.
                Setelah hari itu berlalu, cerita tentang wasit itu tak ikut berlalu. Aku masih menyinggung hal tentangnya, bahkan hingga saat ini, ketika aku menulis cerita ini.
              Hari ini pertandingan final. Ada banyak sahabat yang menonton. Termasuk sahabatku yang mengenal wasit itu. Sebelum aku bertanding, wasit yang ku kagumi itu ternyata bertanding juga untuk program studinya. Ia terlihat keren ketika bertanding. Aku hanya melihatnya di balik lapangan  basket. Ketika aku sedang menyendiri menontonnya, tiba-tiba dua sahabat ku datang dan berteriak memanggil nama wasit yang ku kagumi itu. Ia langsung melihat ke arah kami seraya tersenyum ketika sahabatku memanggil namanya. Ia benar-benar ramah. Aku suka keramahannya.
                Salah seorang sahabatku menawarkan diri untuk memperkenalkan aku dengan wasit itu. Sahabatku bilang ke dia, “ Yuk kenalan sama teman aku, dia nge-fans sama kamu.”. Ternyata sang wasit malu-malu, mengetahui ada yang mengidolakannya.  Tapi aku tak bisa melanjutkan perkenalan itu karena aku terlalu malu. Aku tak bisa mengontrol diri. Aku salah tingkah. Wasit itu telah melihat diriku dari belakang. Melihat sikapku yang malu-malu& salah tingkah, ia hanya bisa tertawa.
                Di pertandingan hari ini aku terjatuh di tengah lapangan karena sepatu ku licin. Ketika aku terjatuh, teman-temanku dari tepi lapangan memberikan semangat agar aku bangun dari jatuhku. Ada rasa bahagia di dalam hati saat mendapat dukungan dari teman-teman. Setelah beberapa saat bermain, akhirnya kami bisa menghasilkan poin juga. Walaupun tak dapat mengejar skor lawan, tapi paling tidak kami telah ‘memecahkan telur’. Ketika kami menghasilkan poin yang pertama, seluruh supporter tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Selalu ada tawa di balik setiap kesalahan yang terjadi dalam pertandingan hari ini. Lagi-lagi, ini semua karena teman-teman yang selalu setia memberikan dukungan.
         Ketika pertandingan berakhir, dua orang sahabatku itu masih tetap mengusahakan aku untuk berkenalan dengan wasit itu. Namun, lagi-lagi aku menolak dengan alasan belum siap. Wasit itu melihat aku tarik-tarikan dengan sahabatku karena aku malu. Ia hanya tertawa melihatku begitu. Aku benar-benar belum siap mental, aku malu. Jangankan untuk bersalaman, untuk bertatapan muka pun aku malu. Sampai akhirnya aku menyerah, walaupun sebenarnya aku ingin berkenalan dengannya, aku mengurungkan niat karena belum siap.
            Aku memutuskan untuk pulang. Aku hampiri motorku, dan aku terjatuh. Ternyata saat itu posisi motor ku tidak tepat, agak miring, hingga membuatku jatuh di depan orang banyak. Aku malu. Di sana juga ada wasit itu yang juga ikut tertawa karena kebodohanku. Aku suka cara dia menertawaiku.
               Ada rasa sesal di hatiku karena tak berkenalan dengannya. Tapi itu tak mengapa, karena aku masih bersyukur Allah pernah mempertemukan aku dengannya J

0 komentar:

Posting Komentar