Minggu, 13 Maret 2011

Mereka Lebih Sayang Kak Salsa !


Tak bisakah kau menungguku hingga nanti tetap menunggu, tak bisakah kau menuntunku menemani dalam hidupku...
          Suara Ariel Peterpan mengalun indah di kamar Tita malam itu. Ya, namanya Tita, Tita Aditya Kirana, gadis berusia 17 tahun itu sedang termenung di sudut kamarnya.
     ”Romeo, kenapa ya Rangga ninggalin aku..?”, tanya Tita pada boneka beruang yang sedang dipeluknya, boneka yang diberikan Rangga sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-11.
     ”Tita, kamu lagi ngapain? Ayo turun! Papa sama kakak udah nungguin di meja makan.”, tiba-tiba suara Mama membuyarkan lamunan Tita akan masa lalunya itu. Segera ia menghapus air mata dan beranjak dari tempat lamunannya. Dengan langkah lesu ia menuju meja makan dan menyapa Papanya.
     ”Malam Pa.”, sapa Tita pada Papanya yang sudah duduk di meja makan.
     ”Malam sayang..”, balas Papanya dengan senyum manis yang terkembang di bawah kumisnya.
     ”Eh, kok Cuma Papa yang disapa? Kakakmu yang cantik ini nggak disapa juga?”, cetus Salsa yang merupakan satu-satunya Kakak Tita.
     ”Iya, malam kakakku yang cantik.”, balas Tita malas.
     ”Ya sudah, ayo makan..!”, sela Mama yang baru saja keluar dari dapur.
     Beberapa saat kemudian, makan malampun usai. Pak Ridwan, Papanya Tita mengajak anak dan istrinya ke ruang keluarga untuk berbincang-bincang bersama. Ini memang menjadi kebiasaan keluarga mereka untuk menjaga komunikasi antara orang tua dan anak.
     ”Sa, gimana kuliahnya? Lancar?”, tiba-tiba Papa memulai pembicaraan.
     “Alhamdulillah lancar Pa, IP Salsa juga lumayan bagus, 3,5 lho Pa..”, jawab Salsa yang merupakan salah satu mahasiswi fakultas kedokteran Universitas Indonesia itu.
     “Wah, itu  bukan lumayan lagi, tapi bagus banget sayang.”, ujar Mama sambil mengelus kepala Salsa.
     ”Tuh Ta, contoh kakak kamu. Nilainya selalu bagus. Masa’ kamu nggak bisa nyontoh kakak kamu?”, ujar Mama lagi.
     Tita hanya bisa menangis dalam hati mendengar ucapan Mamanya. Karena tak ingin mendengarkan perkataan Mama yang lebih menyakitkan hati lagi, ia pun berdiri meninggalkan ruang keluarga dengan alasan ingin cepat tidur.
     ”Ma, Pa, kak, aku tidur duluan ya. Udah ngantuk soalnya.”, Pamit Tita sambil menguap.
     Tita bergegas menuju kamarnya, lalu membaringkan tubuh di atas tempat tidurnya yang empuk. Ia pun tertidur.
     Keesokan paginya.. kukuruyuk..
     Suara jam weker ayamnya membangunkan Tita dari tidur lelapnya. Dengan keadaan yang masih mengantuk, ia berjalan menuju kamar mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Setelah selesai mengemaskan buku-bukunya, ia menghampiri Papa dan Mama untuk pamit pergi ke sekolah.
     ”Ma, Pa,..aku pergi dulu ya..”,pamit Tita.
     “Eh, kamu nggak sarapan dulu?”, tanya Papa khawatir.
     ”Nggak Pa, masih kenyang.”
     ”Oh, ya udah. Hati-hati ya..!”
     ”Ya pa.. Assalamu’alaikum.”
     ”Wa’alaikumsalam..”

     Lalu Tita berlalu dari hadapan Papa dan Mama menuju sekolahnya, SMA Negeri 115 Jakarta yang tidak begitu jauh dari rumahnya dan hanya membutuhkan waktu 20 menit berjalan kaki dari rumah Tita.
     Sepanjang jalan menuju ke sekolah, Tita kembali memikirkan perkataan Mamanya kemarin.
     ”Kenapa ya Mama suka ngebanding-bandingin aku sama kak Salsa? Apa salah aku? Apa karna aku nggak pintar kaya’ kak Salsa? Tapi aku nggak bisa kaya’ kak Salsa.”, gumam Tita dalam hati.
     ”Hai Ta !”, tiba-tiba seorang laki-laki menepuk pundak Tita dari belakang. Ternyata itu Rian, teman sekelas sekaligus tetangga Tita juga.
     ”Hai Yan!”
     ”Kok tumben pergi sendirian? Nggak bareng kak Salsa?”
     “Nggak. Kak Salsa hari ini kuliah siang, jadinya aku berangkat sendiri.”
     “Oh, ngomong-ngomong kak Salsa apa kabar?”
     ”Baik kok. Tapi kok malah kak Salsa sih yang ditanyain?”
     ”Haha.. Soalnya kakak kamu itu ngangenin sih. Udah cantik, pinter, baik, ramah, pinter masak pula. Aku suka banget lho sama masakannya kak Salsa yang waktu itu kamu bawa ke sekolah.”
     ”Oh, emangnya iya ya? Kapan tuh? Kok aku nggak ingat pernah bawa bekal buatan kak Salsa ke sekolah.”
     ”iya. Ya udah, lupain aja. Sekarang kita mesti buruan ke sekolah biar nggak telat. Emangnya kamu mau dikunciin sama Pak Satpam?”
     ”Nggak.”
     Mereka pun berlari kecil menuju ke sekolah.
     Sesampainya di sekolah, Tita bergegas menuju kelasnya bersama Rian.
     Kring..kring.. Bel tanda masuk sekolah berbunyi. Hari ini mata pelajaran pertama adalah matematika. Pelajaran yang paling dibenci Tita. Guru matematika masuk.
     ”Anak-anak, ayo kumpulkan PR kalian !”, suara Bu’ Kanti menggema di kelas XII IPA 11 itu.
     ”Waduh, mati aku. Aku lupa buat PR.”, gumam Tita dalam hati.
     ”Tita, mana PR kamu?!”, suara Bu’ Kanti yang mematikan itu mengagetkan Tita.
     ”ng,ng, maaf Bu’. Saya lupa bawa PR nya.”, kata Tita beralasan.
     ”Lupa bawa atau memang nggak buat?! Halah, kamu banyak alasan. Kamu ini memang pemalas, jauh beda sama kakak kamu.”. Lagi-lagi Tita dibanding-bandingkan dengan Salsa, kakaknya yang juga merupakan alumni dari sekolah yang sekarang diduduki Tita.
     Waktu demi waktu dilalui Tita dengan kekesalan dan pikiran yang berkecamuk. Ia bingung menghadapi perlakuan orang-orang yang selalu membanding-bandingkannya dengan Salsa.
     ”Mereka lebih sayang kak Salsa ! Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku bingung. Apa aku kabur aja ya dari rumah? Biar aku nggak tersiksa lagi ngehadapin orang-orang yang lebih sayang sama kak Salsa.”
     Ketika bel pulang berbunyi, Tita langsung melangkah tak pasti ke arah yang tak tentu. Akhirnya ia memutuskan untuk kabur dari rumah.
     Hingga malam tiba, Tita masih berjalan luntang-lantung. Ia tidak tahu kalau Papa, Mama dan kakaknya sedang cemas menunggu di rumah.
     ”Pa, Tita kemana ya?”, tanya Mama resah.
     ”Papa juga nggak tahu Ma. Papa juga bingung kenapa Tita belum pulang juga sampai sekarang.”
     ”Ini semua salah Mama! Selama ini Mama udah jahat sama Tita.”, kata Mama menyalahkan diri.
     “Ma, sekarang bukan waktunya kita nentuin siapa yang salah siapa yang benar,lebih baik sekarang kita lapor ke polisi.”, saran Salsa menenangkan.
     “Nanti dulu, lebih baik kita tunggu dulu. Papa yakin, pasti Tita akan pulang malam ini.”, saran Papa.
     Di tempat lain Tita terduduk lesu di pinggir jalan. Tiba-tiba sebuah mobil menepi ke tempat Tita duduk. Pintu mobil itu terbuka. Lalu keluarlah sesosok laki-laki tampan dari dalam mobil. Tita menatap sosok itu dari ujung kaki hingga ujung rambut. Deg, tiba-tiba jantung Tita berdegup kencang. Laki-laki itu Rangga, sahabat kecil Tita yang meninggalkannya 6 tahun lalu tanpa alasan yang jelas.
     ”Tita, kenapa kamu di sini?”, tanya laki-laki itu.
     “Rangga?”
     “Iya.. Aku Rangga. Kamu kenapa di sini?”
     ”ng..ng.. Aku.. Aku.. kabur dari rumah.”
     ”Kenapa kabur?”
     Tita menceritakan semua yang ia rasakan kepada Rangga. Mendengar cerita Tita, Rangga ikut sedih dan ia menasehati Tita agar pulang ke rumah. Tapi ia tidak mau, ia malah balik menghakimi Rangga.
     ”Kamu, kenapa dulu pergi ninggalin aku?”
     ”Udah.. Nanti aja aku jelasin. Sekarang aku antarin  kamu pulang dulu ke rumah.”
     Akhirnya hati Tita melunak dan mau diajak pulang ke rumah.
     Sesampainya di rumah, Mama, Papa, dan Salsa telah menunggu Tita di teras rumah.
     ”Tita.. akhirnya kamu pulang juga nak, Mama kangen sama kamu.”, kata Mama sambil memeluk Tita.
     ”Aku juga kangen sama Mama.”
     ”Maafin Mama ya sayang. Mama suka ngebanding-bandingin kamu sama kak Salsa.”
     ”Iya Ma. Tapi jangan lakuin itu lagi ya.. Karna aku nggak suka dibanding-bandingin sama kak Salsa. Aku ya aku.”, kata Tita pelan.
     ”Iya sayang, Mama janji. O iya, Kamu udah makan?”
     ”Belum Ma.”
     ”Ayo kita makan.Rangga juga, ayo kita makan.”
     ”Rangga, ayo kita makan.”, ajak Papa.
     ”iya Om.”
     ”Oh..Oom hampir lupa, makasih ya udah nganterin Tita pulang.”
     ”Iya Om, sama-sama.”
     ”Ayo kita makan, anak kecil.”, celetuk Salsa yang akrab juga dengan Rangga.
     ”Iya nenek tua.”, balas Rangga sambil tertawa.
     Akhirnya hari itu berakhir dengan bahagia.



Selesai
    







Tugas Bahasa Indonesia

Fenni Marriza
XII IIA 4






Guru: Bu’ Daraini
SMA Negeri 8 Pekanbaru
T.A. 2009/2010

0 komentar:

Posting Komentar